Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar
global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin
tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan
penghasilan para penyandangnya.
Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu nama
pertama menunjukkan identitas dirinya sebagai wakil presdir PT Panin Life
Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan
gelar (professional designation) Chartered Financial Consultant (ChFC) di
belakang namanya. "Itu saya perlukan kalau sedang dinas ke luar negeri
atau bertemu dengan kolega saya yang kebetulan orang asing di
Indonesia," ujarnya.
Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra
asingnya bahwa dia dengan orang yang kompeten di bidang asuransi dan
layak dihargai karena menyandang gelar sertifikasi berstandar global,
yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga saya tunjukkan ke klien atau
nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan
gaji Tri cukup baik, karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat
internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.
Sertifikasi ChFC milik Tri diperolehnya dari The American College.
Selain pengakuan internasional, apa lagi manfaatnya? "Banyak sekali,"
paparnya. Oleh karena program sertifikasi lebih bersifat aplikatif, banyak
sekali pengetahuan baru yang tak ia peroleh di bangku kuliah. Selain
itu, apresiasi industri jasa keuangan terhadap mereka yang bersertifikasi
global juga makin tinggi. "Mereka makin dihargai karena keahliannya
berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya.
Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan
Menurut Hari Sudarmadji, managing partner Optima Consulting, perusahaan
konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan untuk
melakukan pekerjaan di berbagai bidang usaha, seperti menjadi manajer
investasi atau wakil perantara perdagangan efek. "Saya sangat setuju dengan
adanya sertifikasi profesi, sebab ini penting untuk kejelasan," ujarnya.
Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh
banyak orang dan membutuhkan upaya sertifikasi, baik yang bersifat
global maupun nasional. Misalnya, sertifikasi profesi di bidang
manajemen risiko, corporate secretary, konsultasi manajemen, komite audit
perusahaan publik, audit ISO, audit TI, dan audit lingkungan. "Mereka yang
benar-benar kompeten di bidang itu sekarang banyak dicari," paparnya. Di
bidang hukum juga berkembang sertifikasi profesi mediator profesional
yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial di luar
pengadilan.
Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi
di bidang itu karena tuntutan pertanggungjawaban profesi cenderung
makin tinggi, seperti halnya profesi akuntan, advokat, notaris, dokter,
dan apoteker, yang sampai dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran
Teluk Buyat, seharusnya ada opini dari auditor lingkungan independen
dan bersertifikasi standar global yang layak disajikan dan memiliki
akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti
profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari.
Di bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden ISACA (Information
Systems Audit and Control Association) Indonesia Chapter, membenarkan
bahwa auditor TI yang memiliki gelar CISA (Certified Information Systems
Auditor) yang dikeluarkan ISACA, AS, makin dibutuhkan. "Padahal di sini
pemilik gelar CISA baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan,
sertifikasi CISM (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan
ISACA untuk para manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia. Saat
ini belum ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM. "Sebab baru
berjalan tahun lalu dan ujiannya Juli 2004 lalu," ungkap Surdiyanto.
Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka Indonesia itu,
audit TI yang dilakukan pemilik gelar CISA jelas dapat
dipertanggungjawabkan karena ia memang dibekali pengetahuan, keterampilan,
dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak semua orang kompeten,
berwenang, dan berhak melakukan audit TI untuk meneliti adanya kontrol
dan efektivitas berjalannya sebuah sistem informasi. "Kalau auditor CISA
mengatakan hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen
dan tak ada conflict of interest," tandasnya.
Lebih lanjut Surdiyanto memaparkan, sarjana akuntansi dan manajemen
bisa saja menjadi auditor keuangan, manajemen, dan operasional, tetapi
tidak semua bisa mengaudit sistem informasi, perangkat lunak, dan sistem
aplikasi. Padahal, ujarnya, banyak perusahaan besar makin bergantung pada
TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan
ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini
berarti TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA."
Di sektor industri manufaktur, tenaga profesional bergelar CPIM
(Certified in Production and Inventory Management) dan CIRM (Certified in
Integrated Resource Management) yang dikeluarkan oleh APICS (American
Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak
perusahaan. Gelar CPIM menandakan penyandangnya memiliki kompetensi
berstandar internasional di bidang perencanaan pengadaan, bahan baku,
kapasitas produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok,
perencanaan penjualan dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan
operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga
menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah
perusahaan yang begitu kompleks, sehingga bisa bekerja lebih efektif dan
produktivitas meningkat.
Sertifikasi CPIM dan CIRM, menurut Ahmad Syamil, sangat penting bagi
kalangan profesional yang banyak bergelut di bidang manajemen operasional
perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah salah satu penyandang gelar CPIM
dan CIRM. Gelar ini, lanjut staf pengajar di Arkansas State University,
AS, itu, "Juga membantu peluang kerja di berbagai negara."
Di bidang pemasaran, sertifikasi profesi seperti Chartered Marketer
(CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered Institute of Marketing (CIM) juga
sedang berkembang. Ario S. Setiadi, marketing & business development
vice-president Medika Plaza International Clinic, mengaku sedang belajar
program CM. "Cuma pakar marketing Hermawan Kartajaya yang sejauh ini
bisa memperoleh gelar Fellow dari CIM," ujarnya. Padahal Ario sudah
memiliki gelar CPM (Certified Professional Marketer) Asia Pacific yang
dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada
12 orang yang memilikinya, termasuk Ario.
Sementara itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer riset BNP Paribas,
mengamati minat orang untuk memperoleh gelar FRM (Financial Risk Manager)
sekarang makin tinggi, terutama mereka yang bekerja di sektor perbankan.
"Sebab, regulasi perbankan mengharuskan semua bank mengikuti Basel Rule
II Accord," ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association
for Risk Management Professional pada tahun 2002.
Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua bank
dalam hal manajemen risiko dan bakal berlaku pada 2006. Oleh karena itu,
banyak kalangan bankir tertarik mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank
Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan
manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.
Menurut Ferry, pemilik gelar FRM di Indonesia baru delapan orang.
"Sebagian besar juga penyandang gelar CFA (Chartered Financial
Analyst)," tutur Ferry, yang juga bergelar CFA. Sertifikasi CFA, walau
sudah ada di Indonesia sejak 15 tahun lalu, baru 70-80 orang yang
memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per tahun 700-800 orang, yang lulus
sangat sedikit," ungkap Ferry.
Th. Wiryawan, marketing communications & business development director
Citibank Indonesia, menilai bahwa masalah sertifikasi profesi memang isu
besar di industri jasa keuangan saat ini. "Seperti untuk menjadi
private banker, sebenarnya juga tidak mudah," ujarnya. Di Citibank,
mereka yang bisa bekerja sebagai private banker harus berada pada level
senior manager dan lulus ujian selama tiga bulan. Standar kualitas
profesional bankirnya juga minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to
market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan
standar profesional global, yang umumnya menganut pendekatan marked to
market," jelasnya.
Menunjang Karier dan Penghasilan
Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi profesi
adalah di industri keuangan, asuransi, pasar modal, dan properti. "Ini
lagi tren dan membuat tenaga-tenaga yang memiliki sertifikasi harganya
naik," tegas Hari. Apalagi tenaga-tenaga bersertifikasi juga tak mudah
dicari karena yang bersangkutan sudah mendapatkan posisi dan income
yang bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal.
Berapa? Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh karena mereka
memiliki kemampuan khusus, perusahaan pun diuntungkan. Nilai perusahaan
(corporate value) otomatis meningkat karena mampu mempekerjakan
tenaga-tenaga bersertifikasi global dengan gaji yang tinggi. Hari
menyarankan, tak ada ruginya eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun
untuk mengejar sertifikasi. "Tren dunia keprofesian akan makin spesifik
dan ilmu yang dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari.
Menurut pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar CISA memang
memiliki penghasilan yang bagus dan posisi strategis di perusahaan. "Ia
betul-betul dipakai untuk memberikan pendapatan besar bagi perusahaannya,"
tambahnya. Apabila ada proyek audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan
sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus
dibanding auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar
menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun
makin meningkat pula.
Namun, menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang yang
bersertifikasi standar global akan berhasil di karier dan gaji. Hanya,
memang, dengan memiliki sertifikasi, daya tahan untuk tetap memiliki
posisi dan penghasilan tinggi cenderung lebih kuat. "Jika tak punya
sertifikasi, bisa saja ia diganti oleh orang yang bersertifikasi,"
tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk
dengan orang asing. Jadi, jika tak memiliki kredibilitas, lewat
sertifikasi, pasti akan kalah bersaing. "Bank-bank besar, asuransi, dan
pasar modal makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya.
Ferry Wong berpendapat, sertifikasi memang menunjang karier dan gaji,
tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA dan FRM pasti akan
menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar atau tools untuk
menjadi analis yang baik," paparnya. Selebihnya tergantung kemauan,
usaha, dan keberuntungan. Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang
menyandang gelar CFA dan FRM memang memiliki posisi tinggi. "Oleh karena
jumlahnya sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan Ario. Katanya, penyandang gelar CPM Asia
Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi gelar ini
dihargai di negara-negara Asia Pasifik, sehingga penyandangnya, apabila
bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa standar profesionalnya
setara. "Sementara di Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti
makna titel CPM," paparnya. Ario mensinyalir, orang masih rancu antara
gelar formal dan informal, serta adanya stigma bahwa apabila gelar
informal tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak
legal. "Padahal di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal profesi
yang kalau diterima pasar ya bisa berjalan," jelas Ario. Namun Ario
yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal lebih berdaya saing dibanding
yang tidak memilikinya.
Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service director Century 21
Thomas Mitra, menjelaskan bahwa sebagian broker properti memang belum
memiliki sertifikasi broker atau analis properti. Namun ia mengamati,
mereka yang memilikinya cenderung makin baik karier dan penghasilannya.
Thomas, yang memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat
Studi Properti Indonesia, merasakan manfaat pendidikan yang ditempuhnya
dalam menjalankan profesi sebagai broker properti.
Ke depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker properti makin
dibutuhkan karena persaingan makin sengit dan tuntutan konsumen makin
tinggi. "Itu baru bisa kami layani kalau kaminya sendiri makin
berkualitas," ujarnya. Thomas menambahkan, karier sulit berkembang kalau
mau mengejar uang tanpa terus belajar.
Sumber:
wartaekonomi.com