Selasa, 06 Maret 2012

Garuda Named “Best Airline in The World”


National flag carrier Garuda Indonesia has been recognized as ‘Best International Airline’ according to a recent independent survey of all major airlines throughout the world.

The customer satisfaction survey, conducted by research company Roy Morgan, ranked Garuda Indonesia ahead of other leading airlines, such as Singapore Airlines, Emirates and Air New Zealand with 91 percent of the 3,943 respondents being “very satisfied” with the airline’s products and services.

“We are thrilled to receive this award, as it endorses Garuda Indonesia’s transformation and progress toward becoming one of Asia’s leading airlines. This valuable recognition by our Australian customers motivates us even further to deliver the highest standards of service on the ground and in the air," Bagus Y. Siregar, Garuda Indonesia’s senior general manager for Australia and the South West Pacific, said in a statement sent to The Jakarta Post on Tuesday.

The Roy Morgan Customer Satisfaction Award comes after a string of accolades, including the four-star rating by Skytrax, the global benchmark for airline service standards, in 2009.

Garuda Indonesia was also named the World’s Most Improved Airline at the Skytrax World Airline Awards in Hamburg, and Asia’s leading service quality airline by the Center for Asia-Pacific Aviation (CAPA) in 2010.

All awards recognize the success of Garuda Indonesia’s Qantum Leap program, which includes the revitalization of its existing fleet and the introduction of “The Garuda Indonesia Experience”, the carrier’s service concept that offers a uniquely Indonesian level of service both in-flight and on the ground.

"Garuda Indonesia will continue to invest in enhancing its service offerings in order to become a five-star carrier by 2015," Siregar said. (nfo)

Sources : http://www.thejakartapost.com/news/2012/03/06/garuda-named-best-airline-world.html

Selasa, 14 Februari 2012

Ini Daftar Gaji Karyawan Bank Indonesia


Semua pegawai Bank Indonesia akhirnya mendapat kenaikan gaji sebesar 3 persen karena kinerja karyawan BI yang berhasil menaikkan perekonomian Indonesia. Kenaikan gaji para karyawan BI disebut cost of living adjustment (COLA).

Dalam COLA, kenaikan gaji karyawan BI bisa mencapai 10 persen, jika karyawan bekerja lebih maksimal akan ditambahkan. "Jadi itu diberikan berdasarkan prestasi. Dasarnya 3 persen, tapi kalau kerjanya bagus bisa ditambah 7 persen," ujar Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis, di DPR, Rabu (8/2/2012).

Berikut data yang dihimpun untuk gaji karyawan BI pada tahun 2011 sebelum mendapat COLA:
* Gubernur BI: Rp 153,9 juta
* Deputi Gubernur Senior: Rp 109,7 juta-Rp 164,6 juta
* Deputi Gubernur: Rp 96,8 juta-Rp 115,2 juta
* Direktur BI: Rp 50,2 juta-Rp 72,3 juta
* Deputi Direktur BI: Rp 36,1 juta-Rp 47,4 juta
* Kepala Bagian BI: Rp 25,9-Rp 38,6 juta
* Deputi Kepala Bagian BI: Rp 18,9 juta-Rp 28,9 juta
* Kepala Seksi BI: Rp 12,8 juta-Rp 22,9 juta
* Staf BI Rp 6,1 juta-Rp 15,3 juta
* Pegawai Tata Usaha: BI Rp 3,7 juta-Rp 10,9 juta
* Pegawai Dasar BI: Rp 2,7 juta-Rp 5,2 juta

(Adiatmaputra Fajar Pratama)

Sumber : tribunnews.com, kompas.com

http://www.panas.web.id/2012/02/ini-daftar-gaji-karyawan-bank-indonesia.html

Kamis, 24 November 2011

Keluarga Hartono Terkaya di Indonesia


Liputan6.com, Jakarta: Keluarga Hartono, Susilo Wonowidjojo dan Eka Tjipta Widjaja kembali menduduki posisi teratas sebagai orang-orang terkaya di Indonesia tahun ini, versi majalah Forbes. Total kekayaan mereka bertiga bertambah 7,5 miliar dolar AS dalam setahun, atau lebih dari separuh total kekayaan 40 orang terkaya di negeri ini.

Dalam majalah Forbes yang terbit Rabu (23/11) waktu setempat, dijelaskan, tahun 2011 ketiga konglomerat papan atas itu memiliki kekayaan senilai 32,5 miliar dolar AS, atau 38 persen dari total nilai kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia.

Lima besar orang terkaya Indonesia adalah R. Budi dan Michael Hartono berada di urutan teratas dengan kekayaan mencapai 14 miliar dollar AS disusul Susilo Wonowidjojo dengan kekayaan 10 miliar dollar AS, Eka Tjipta Widjaja (8 miliar dollar AS), Low Tuck Kwong (3,7 miliar dollar AS) dan Anthoni Salim (3,6 miliar dollar AS).

Forbes menyebutkan banyak terjadi pergeseran dalam ranking orang terkaya Indonesia. Salah satu yang tergeser posisinya adalah konglomerat batubara pemilik Adaro Energy. Konglomerat lainnya yang ranking kekayaannya anjlok adalah Aburizal Bakrie dan keluarganya yang terpaksa menjual setengah dari sahamnya di Bumi Resources untuk membayar utang. Kekayaannya turun 1,2 miliar dolar AS atau 57 persen.

Sementara pendatang baru dalam daftar orang terkaya di Indonesia ini antara lain Samin Tan, Achmad "Met" Hamami pemilik distributor Caterpilar dan Djoko Susanto pemilik jaringan minimarket Alfamart dengan total kekayaan mencapai 1 miliar dolar AS.

Nama yang hilang dari daftar 40 orang terkaya Indonesia tahun ini antara lain adalah Arifin dan Hilmi Panigoro yang kehilangan hampir setengah keuntungan mereka dari saham MedcoEnergi.

Nama lain yang hilang dari daftar adalah Kusnan dan Rusdi Kirana serta Prajogo Pangestu, lantaran jumlah kekayaan mereka tak memenuhi persyaratan jumlah kekayaan minimal yang ditetapkan Forbes yang dinaikkan dari 630 juta dolar AS menjadi 455 juta dolar AS.

Kekayaan bersih itu dihitung menggunakan harga saham dan nilai tukar pada 11 November. Perusahaan swasta yang dihargai oleh membandingkan mereka dengan peringkat yang sama publik miliarder FORBES companies.Unlike, yang berfokus pada kekayaan individu, daftar Indonesia menunjukkan sejumlah kekayaan keluarga. (Forbes/mla)

Inilah daftar 40 orang terkaya di Indonesia Versi Forbes:

1. R Budi dan Michael Hartono (14 miliar dollar AS)

2. Susilo Wonowidjojo (10 miliar dollar AS)

3. Eka Tjipta Widjaja (8 miliar dollar AS)

4. Low Tuck Kwong (3,7 miliar dollar AS)

5. Anthoni Salim (3,6 miliar dollar AS)

6. Sukanto Tanoto (2,8 miliar dollar AS)

7. Martua Sitorus (2,7 miliar dollar AS)

8. Peter Sondakh (2,6 miliar dollar AS)

9. Putera Sampoerna (2,4 miliar dollar AS)

10. Achmad Hamami (2,2 miliar dollar AS)

11. Chairul Tanjung (2,1 miliar dollar AS)

12. Boenjamin Setiawan (2 miliar dollar AS)

13. Sri Prakash Lohia (1,7 miliar dollar AS)

14. Murdaya Poo (1,5 miliar dollar AS)

15. Tahir (1,4 miliar dollar AS)

16. Edwin Soeryadjaya (1,35 miliar dollar AS)

17. Kiki Barki (1,3 miliar dollar AS)

18. Garibaldi Thohir (1,3 miliar dollar AS)

19. Sjamsul Nursalim (1,22 miliar dollar AS)

20. Ciliandra Fangiono (1,210 miliar dollar AS)

21. Eddy Wiliam Katuari (1,2 miliar dollar AS)

22. Hary Tanoesoedibjo (1,19 miliar dollar AS)

23. Kartini Muljadi (1,15 miliar dollar AS)

24. TP Rachmat (1,140 miliar dollar AS)

25. Djoko Susanto (1,040 miliar dollar AS)

26. Harjo Sutanto (1 miliar dollar AS)

27. Ciputra (950 juta dollar AS)

28. Samin Tan (940 juta dollar AS)

29. Benny Subianto (900 juta dollar AS)

30. Aburizal Bakrie (890 juta dollar AS)

31. Engki Wibowo dan Jenny Quantero (810 juta dollar AS)

32. Hashim Djojohadikusumo (790 juta dollar AS)

33. Soegiarto Adikoesoemo (770 juta dollar AS)

34. Kuncoro Wibowo (730 juta dollar AS)

35. Muhammad Aksa Mahmud (710 dollar dolar AS)

36. Husain Sjojonegoro (700 juta dollar AS)

37. Sandiaga Uno (660 juta dollar AS)

38. Mochtar Riady (650 juta dollar AS)

39. Triatma Haliman (640 juta dollar AS)

40. Handojo Santosa (630 juta dolar AS)

http://id.berita.yahoo.com/keluarga-hartono-terkaya-di-indonesia-101800113.html

Kamis, 06 Oktober 2011

Perjalanan Panjang Apple dan Steve Jobs Mengubah Dunia



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pendiri Apple Inc Steve Jobs meninggal, Rabu (waktu AS) setelah pertempuran panjang dengan kanker pankreas. Berikut adalah beberapa tonggak sejarah Apple dalam dunia gadget:

1976 - Duo karib sejak SMU, Steven Wozniak dan Steve Jobs memulai Apple Computer. Produk pertama mereka, Apple I, dibangun dalam bentuk papan sirkuit. Mereka memeragakannya di "Homebrew Computer Club" di Palo Alto, California.

1977 - Apple meluncurkan Apple II. Sebuah komputer pribadi pertama dalam desain casing plastik dan grafis internal warna.

1983 - Apple Mulai menjual "Lisa", sebuah komputer desktop untuk bisnis dengan antarmuka yang legendaris. Antarmuka yang masih digunakan (prinsipnya) oleh komputer sampai hari ini.

1984 - Apple merilis debut komputer Macintosh.

1985 - Apple memecat Steve Jobs terkait pertarungan internal.

September 1997 - Jobs kembali sebagai CEO sementara di Apple setelah perusahaan itu merugi lebih dari 1,8 miliar dolar AS.

November 1997 - Jobs memperkenalkan barisan baru komputer Macintosh G3 dan website yang memungkinkan konsumen membeli langsung dari Apple.

1998 - Apple memperkenalkan komputer desktop iMac.

2001 - Apple memperkenalkan iPod.

2003 - Apple membuka iTunes Store, toko online memungkinkan pengguna untuk membeli dan men-download musik, audiobooks, film dan TV.

Agustus 2004 - Jobs mengumumkan ia menjalani operasi yang sukses untuk mengangkat kanker pankreasnya.

Januari 2007 - Apple memperkenalkan iPhone.

2008 - Apple membuka App Store sebagai update ke iTunes.

Januari 2009 - Jobs mengambil cuti karena alasan kesehatan. COO Tim Cook memimpin perusahaan sementara.

Juni 2009 - Jobs kembali ke Apple setelah menjalani transplantasi hati.

April 2010 - Apple mulai menjual iPad, tablet layar sentuh 10 inci, dan memiliki pangsa 84 persen dari pasar tablet di akhir 2010.

17 Januari 2011 - Jobs mengumumkan bahwa ia akan mengambil cuti medis lain.

2 Maret 2011 - Apple meluncurkan iPad 2.

9 Agustus 2011 - Apple dipandang sebagai perusahaan AS yang paling berharga.

24 Agustus 2011 - Jobs mundur sebagai CEO dan digantikan oleh Tim Cook, chief operating officer Apple.

5 Oktober 2011 - Jobs meninggal pada usia 56 setelah pertempuran panjang dengan kanker pankreas.

Kantor CIPD Asia Dibuka di Singapura


CIPD, satu-satunya Chartered HR professional institute di dunia, resmi membuka kantor pusat Asia di Singapura. Pembukaan CIPD diumumkan oleh Goh Chok Tong, emeretius senior minister yang bertepatan dengan event Singapore Human Capital Summit, 28-29 September yang lalu.

Kantor CIPD sendiri berpusat di Inggris, telah berpengalaman lebih dari 100 tahun dengan 135.000 member di 120 negara. Sementara kantor di Singapura adalah kantor pertama yang dibuka di luar Inggris dan Irlandia. CIPD Asia hadir untuk memberikan akselerasi bagi praktisi HR dan membantu memberikan pengalaman kepada praktisi HR ke kancah global.

Atas prestasi Singapura yang dipercaya sebagai kantor pertama di luar negeri, Goh mengatakan bahwa CIPD akan memberikan kontribusi bagi Singapura yang memang berniat menjadikannya sebagai negara hub atas pengayaan human capital ecosystem.

“Saya berharap CIPD bisa membantu proses bisnis di kawasan dan membawa keunikan tersendiri dari strategi HR di Asia,” ucap Goh.

Sarah Miles, Managing Director CIPD Asia merasa terhormat atas kesediaan Goh Chok Tong meresmikan kantor CIPD di Singapura ini sebagai kantor pusat di Asia.

“Melalui kantor kami di sini, dan gambaran tentang standar kami tentang global professional, kami hadir dengan tujuan untuk mendukung dan memberikan kontribusi bagi pengembangan HR professional di Asia. Seperti kita tahu HR adalah profesi global, dan kami meniatkan diri untuk menggunakan kantor kami ini dalam mendorong pengembangan profesi, serta akreditasi CIPD bagi para praktisi HR di Singapura maupun seluruh Asia,” ujarnya.

Sarah menyambung, pihaknya telah bekerja sama dengan pihak lokal untuk mengusung lebih banyak kualifikasi langsung di Asia. “Kami juga ingin menciptakan HR talent pipeline, serta mendukung penuh dari ambisi yang jelas dari pemerintah Singapura untuk mendirikan kota ini sebagai pusat talent di Asia,” katanya.

Sarah juga mengakui Asia saat ini adalah kawasan yang tercepat di dunia dalam hal pertumbuhan ekonominya, serta di mana banyak ditemukan inovasi-inovasi maupun inspirasi dari praktek HR di dalam sebuah organsiasi. “Kita telah melihat banyak contoh melalui riset kami dalam next generation HR Asia. Kami bertekad bahwa best practice HR di Asia akan berperan penuh dalam mendorong pengembangan profesi HR global,” tukas Sarah.

Lebih lanjut Sarah menjelaskan bahwa prioritas langsung CIPD Asia meliputi empat hal. Pertama, membangun kemitraan dengan lembaga pendidikan tinggi di Singapura dan di seluruh Asia untuk memberikan lebih banyak pelatihan CIPD secara global dan berkualifikasi. Kedua, memperkenalkan CIPD secara global dan diakui sebagai organisasi internasional yang terakreditasi bagi para profesional HR di Singapura dan di seluruh Asia.

Ketiga, lead research, di mana dalam kemitraan yang erat dengan organisasi, CIPD akan mengidentifikasi dan mempromosikan inovasi global yang relevan dan praktek terbaik dalam kepemimpinan bisnis Asia dan praktek SDM, serta bekerja dengan organisasi untuk mempercepat penyebaran yang lebih luas dan pelaksanaan inovasi dan best practice.

“Kami berkomitmen untuk keduanya dengan menginformasikan dan aktif mendukung upaya pemimpin bisnis dan profesi SDM di wilayah ini pada isu-isu yang paling penting bagi mereka dalam hal pekerjaan,” ujar Sarah.

Hal lain yang juga menjadi prioritas, masih menurut Sarah, CIPD akan mendukung pemerintah Singapura yang telah bertekad menjadikan Singapura sebagai “talent hub for Asia” dengan mengembangkan jaringan bakat SDM lokal dengan kemampuan yang terakreditasi untuk berlatih pada tingkat internasional.

http://www.portalhr.com/berita/kantor-cipd-asia-dibuka-di-singapura/

Selasa, 04 Oktober 2011

Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi Standar Global (2)

Sulit Diperoleh
Namun umumnya sertifikasi profesi berstandar global, dan bahkan yang
nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan, papar Hari, dalam ujian
profesi, lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Sinyalemen Hari
dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan untuk ikut ujian CPM, seseorang
minimal sudah bekerja di bidang pemasaran selama lima tahun, dan
biasanya jarang yang sekali ujian bisa langsung lulus. Umumnya dua kali
ujian baru lulus. "Saya sendiri waktu itu ada yang satu modulnya
tidak lulus," ungkap Ario. Kesulitan makin tinggi kalau mereka tak
punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30%
yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis. Jadi, bagi yang belum
berpengalaman, pasti akan kesulitan.

Seorang penyandang gelar sertifikasi berstandar global tidak boleh hanya
piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya. Misalnya di
bidang hukum, ia harus terampil berperkara di pengadilan. Kalau ia
manajer investasi, ia harus terampil mengelola dana triliunan rupiah.
"Kepandaian mengelola risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari.

Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi berstandar global
meningkat, gelar itu juga menuntut tanggung jawab yang juga besar.
Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung di bawah perusahaan atau
organisasi profesi. "Sebab, pekerjaan mereka kerap kali menyangkut nilai
yang besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa
bertanggung jawab di depan hukum supaya tidak ada malapraktek. "Profesi
yang sudah dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari.

Oleh karena itu, lanjut Hari, sertifikasi berstandar global bukanlah
lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat pengawasan ketat dari
institusi pemberi sertifikasi. Penyandang gelarnya wajib mengikuti
pendidikan dan ujian berkesinambungan (continual education) untuk terus
meningkatkan kualitas profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas
mengikuti perkembangan terbaru, sehingga kualitas kerjanya turun dan
opininya tidak layak lagi," urai Hari. Mereka juga diwajibkan mematuhi
kode etik sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut
sewaktu-waktu.

Surdiyanto membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila pemegang gelar CISA
dalam setahun tak melakukan praktek apa pun yang terkait dengan gelarnya,
ia tidak akan mendapatkan poin kredit sehingga gelarnya bisa dicabut.
Gelarnya baru bisa diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang
diakui. Ia juga harus mematuhi kode etik yang ada. "Setiap akhir tahun,
gelar CISA harus diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup
memegang gelar CISA," paparnya.

Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi profesi seperti CFA
memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi, seperti surat izin
mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu, tambahnya, penyandang gelar CFA
cenderung tak berani mengambil risiko melakukan penyimpangan atau
penipuan. "Risiko dan tanggung jawabnya besar."

Biaya pendidikan dan ujian sertifikasi standar global juga terhitung
mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu tak bisa
dipertanggungjawabkan," papar Hari. Sampai di sini, Hari cemas dengan
makin menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan fasilitas pendidikan
dan ujian keprofesian, baik berstandar global maupun lokal, seiring
tumbuhnya permintaan. Hari mencermati, ada gejala banyak orang memburu
sertifikasi sampai ke luar negeri sehingga kalau tidak diantisipasi,
disediakan forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi
profesi dari luar negeri yang tak diketahui seperti apa kualitasnya.
"Tidak bisa sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud
kriterianya," tegasnya.

Untuk itu Hari menilai pentingnya peran berbagai organisasi profesi dan
organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan semua pihak yang terkait,
seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah
terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek
di lapangan. "Kalau pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada
di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir
memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso.

Ferry Wong juga khawatir jika sertifikasi profesi kemudian dianggap
seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak dapat
dipertanggungjawabkan. Ia melihat ada kecenderungan tumbuhnya institusi
pendidikan yang sekadar mencari uang dengan memanfaatkan momentum dan
bahkan membuat sertifikasi profesi yang tak jelas standarnya. Akan
tetapi ia yakin, orang akan tahu dengan sendirinya, sertifikasi mana yang
bagus dan layak dihargai.

Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya
terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya, gelar
CFA, yang tahun ini tingkat kelulusannya di seluruh dunia hanya 32% dari
total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau
mencari sertifikasi, cari yang susah karena itu yang akan dihargai. Kalau
sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya.

Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global:
1. Chartered Financial Analyst (CFA)
2. Certified Financial Planner (CFP)
3. Financial Risk Manager (FRM)
4. Chartered Financial Consultant (ChFC)
5. Project Management Professional (PMP)
6. Certified Information Systems Auditor (CISA)
7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM)
8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM)
9. Certified Professional Marketing (CPM)
10. Senior Certified Valuers (SCV)
11. Certified Public Accountant (CPA)
12. Certified Internal Auditor (CIA)
13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP)
14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA)

Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi
Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar pelakunya berharga
mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan
sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi yang sebenarnya
tak membutuhkan sertifikasi khusus, tetapi juga langka sehingga harganya
pun tergolong mahal. Penyebabnya mungkin karena profesi-profesi itu
lebih mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur
pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya.

Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa
tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan agar layak ekspor. "Dia
tugasnya hanya memegang dan membaui ikan tuna, seperti layaknya
menguji biji kopi atau daun teh," ujar Irham Dilmy, managing partner
perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia.

Menurut Irham, pemeriksa ikan tuna yang notabene ekspatriat itu per
bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak digaji tinggi karena
pabrik pengalengan ikan tak mau mengambil risiko produknya ditolak di
negara tujuan ekspor lantaran tak memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini
bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari
perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna.

Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan
dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar pembuluh darahnya tidak
pecah. Orang Jepang tak suka mengkonsumsi ikan tuna yang pembuluh
darahnya sudah pecah karena rasanya menjadi tidak enak.

"Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10
orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu
sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan
mereka sebenarnya relatif sama dengan pembau tembakau, tapi bayarannya jauh
lebih mahal," ungkap Irham.

Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan
Kini kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya, profesi di bidang
perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen mutu, manajemen
lingkungan, manajemen risiko, manajemen proyek, pemasaran, manajemen
pabrik, dan lain-lain. Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh
orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu
umumnya spesifik dan membutuhkan keahlian khusus. Di sinilah
sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat
dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan.

Sertifikasi profesi berstandar global makin diperlukan untuk menegaskan
bahwa pelakunya layak diakui, memiliki pengetahuan, keterampilan, dan
pengalaman dengan kualitas internasional. Misalnya, bidang audit
penerapan TI dibutuhkan pelaku yang bersertifikasi CISA. Mereka ini
diprediksi bakal mahal harganya di masa depan.

Pelaku profesi bersertifikasi standar global diprediksi "mahal"
karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang yang menekuninya.
Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku profesi ini bisa memiliki
sertifikasi berstandar global. Ketiga, permintaannya yang kian tinggi belum
diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga" mereka naik.

Keempat, mereka mahal karena sertifikasinya diakui secara global.
Artinya, di mana pun ia bekerja, standar keahlian atau kompetensinya
diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana pun. Sertifikasi standar
global menegaskan bahwa penyandangnya memang memiliki keahlian khusus,
sehingga pantas mendapat bayaran tinggi.

Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate
value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan karyawan bersertifikasi
standar global tentu dianggap memiliki nilai lebih. Itu sebabnya
perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka.

FADJAR ADRIANTO DAN HENDARU

Source :
wartaekonomi.com

Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi Standar Global (1)

Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar
global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin
tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan
penghasilan para penyandangnya.

Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu nama
pertama menunjukkan identitas dirinya sebagai wakil presdir PT Panin Life
Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan
gelar (professional designation) Chartered Financial Consultant (ChFC) di
belakang namanya. "Itu saya perlukan kalau sedang dinas ke luar negeri
atau bertemu dengan kolega saya yang kebetulan orang asing di
Indonesia," ujarnya.

Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra
asingnya bahwa dia dengan orang yang kompeten di bidang asuransi dan
layak dihargai karena menyandang gelar sertifikasi berstandar global,
yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga saya tunjukkan ke klien atau
nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan
gaji Tri cukup baik, karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat
internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya.

Sertifikasi ChFC milik Tri diperolehnya dari The American College.
Selain pengakuan internasional, apa lagi manfaatnya? "Banyak sekali,"
paparnya. Oleh karena program sertifikasi lebih bersifat aplikatif, banyak
sekali pengetahuan baru yang tak ia peroleh di bangku kuliah. Selain
itu, apresiasi industri jasa keuangan terhadap mereka yang bersertifikasi
global juga makin tinggi. "Mereka makin dihargai karena keahliannya
berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya.

Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan
Menurut Hari Sudarmadji, managing partner Optima Consulting, perusahaan
konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan untuk
melakukan pekerjaan di berbagai bidang usaha, seperti menjadi manajer
investasi atau wakil perantara perdagangan efek. "Saya sangat setuju dengan
adanya sertifikasi profesi, sebab ini penting untuk kejelasan," ujarnya.

Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh
banyak orang dan membutuhkan upaya sertifikasi, baik yang bersifat
global maupun nasional. Misalnya, sertifikasi profesi di bidang
manajemen risiko, corporate secretary, konsultasi manajemen, komite audit
perusahaan publik, audit ISO, audit TI, dan audit lingkungan. "Mereka yang
benar-benar kompeten di bidang itu sekarang banyak dicari," paparnya. Di
bidang hukum juga berkembang sertifikasi profesi mediator profesional
yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial di luar
pengadilan.

Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi
di bidang itu karena tuntutan pertanggungjawaban profesi cenderung
makin tinggi, seperti halnya profesi akuntan, advokat, notaris, dokter,
dan apoteker, yang sampai dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran
Teluk Buyat, seharusnya ada opini dari auditor lingkungan independen
dan bersertifikasi standar global yang layak disajikan dan memiliki
akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti
profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari.

Di bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden ISACA (Information
Systems Audit and Control Association) Indonesia Chapter, membenarkan
bahwa auditor TI yang memiliki gelar CISA (Certified Information Systems
Auditor) yang dikeluarkan ISACA, AS, makin dibutuhkan. "Padahal di sini
pemilik gelar CISA baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan,
sertifikasi CISM (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan
ISACA untuk para manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia. Saat
ini belum ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM. "Sebab baru
berjalan tahun lalu dan ujiannya Juli 2004 lalu," ungkap Surdiyanto.

Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka Indonesia itu,
audit TI yang dilakukan pemilik gelar CISA jelas dapat
dipertanggungjawabkan karena ia memang dibekali pengetahuan, keterampilan,
dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak semua orang kompeten,
berwenang, dan berhak melakukan audit TI untuk meneliti adanya kontrol
dan efektivitas berjalannya sebuah sistem informasi. "Kalau auditor CISA
mengatakan hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen
dan tak ada conflict of interest," tandasnya.

Lebih lanjut Surdiyanto memaparkan, sarjana akuntansi dan manajemen
bisa saja menjadi auditor keuangan, manajemen, dan operasional, tetapi
tidak semua bisa mengaudit sistem informasi, perangkat lunak, dan sistem
aplikasi. Padahal, ujarnya, banyak perusahaan besar makin bergantung pada
TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan
ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini
berarti TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA."

Di sektor industri manufaktur, tenaga profesional bergelar CPIM
(Certified in Production and Inventory Management) dan CIRM (Certified in
Integrated Resource Management) yang dikeluarkan oleh APICS (American
Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak
perusahaan. Gelar CPIM menandakan penyandangnya memiliki kompetensi
berstandar internasional di bidang perencanaan pengadaan, bahan baku,
kapasitas produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok,
perencanaan penjualan dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan
operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga
menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah
perusahaan yang begitu kompleks, sehingga bisa bekerja lebih efektif dan
produktivitas meningkat.

Sertifikasi CPIM dan CIRM, menurut Ahmad Syamil, sangat penting bagi
kalangan profesional yang banyak bergelut di bidang manajemen operasional
perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah salah satu penyandang gelar CPIM
dan CIRM. Gelar ini, lanjut staf pengajar di Arkansas State University,
AS, itu, "Juga membantu peluang kerja di berbagai negara."

Di bidang pemasaran, sertifikasi profesi seperti Chartered Marketer
(CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered Institute of Marketing (CIM) juga
sedang berkembang. Ario S. Setiadi, marketing & business development
vice-president Medika Plaza International Clinic, mengaku sedang belajar
program CM. "Cuma pakar marketing Hermawan Kartajaya yang sejauh ini
bisa memperoleh gelar Fellow dari CIM," ujarnya. Padahal Ario sudah
memiliki gelar CPM (Certified Professional Marketer) Asia Pacific yang
dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada
12 orang yang memilikinya, termasuk Ario.

Sementara itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer riset BNP Paribas,
mengamati minat orang untuk memperoleh gelar FRM (Financial Risk Manager)
sekarang makin tinggi, terutama mereka yang bekerja di sektor perbankan.
"Sebab, regulasi perbankan mengharuskan semua bank mengikuti Basel Rule
II Accord," ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association
for Risk Management Professional pada tahun 2002.

Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua bank
dalam hal manajemen risiko dan bakal berlaku pada 2006. Oleh karena itu,
banyak kalangan bankir tertarik mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank
Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan
manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu.

Menurut Ferry, pemilik gelar FRM di Indonesia baru delapan orang.
"Sebagian besar juga penyandang gelar CFA (Chartered Financial
Analyst)," tutur Ferry, yang juga bergelar CFA. Sertifikasi CFA, walau
sudah ada di Indonesia sejak 15 tahun lalu, baru 70-80 orang yang
memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per tahun 700-800 orang, yang lulus
sangat sedikit," ungkap Ferry.

Th. Wiryawan, marketing communications & business development director
Citibank Indonesia, menilai bahwa masalah sertifikasi profesi memang isu
besar di industri jasa keuangan saat ini. "Seperti untuk menjadi
private banker, sebenarnya juga tidak mudah," ujarnya. Di Citibank,
mereka yang bisa bekerja sebagai private banker harus berada pada level
senior manager dan lulus ujian selama tiga bulan. Standar kualitas
profesional bankirnya juga minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to
market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan
standar profesional global, yang umumnya menganut pendekatan marked to
market," jelasnya.

Menunjang Karier dan Penghasilan
Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi profesi
adalah di industri keuangan, asuransi, pasar modal, dan properti. "Ini
lagi tren dan membuat tenaga-tenaga yang memiliki sertifikasi harganya
naik," tegas Hari. Apalagi tenaga-tenaga bersertifikasi juga tak mudah
dicari karena yang bersangkutan sudah mendapatkan posisi dan income
yang bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal.

Berapa? Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh karena mereka
memiliki kemampuan khusus, perusahaan pun diuntungkan. Nilai perusahaan
(corporate value) otomatis meningkat karena mampu mempekerjakan
tenaga-tenaga bersertifikasi global dengan gaji yang tinggi. Hari
menyarankan, tak ada ruginya eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun
untuk mengejar sertifikasi. "Tren dunia keprofesian akan makin spesifik
dan ilmu yang dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari.

Menurut pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar CISA memang
memiliki penghasilan yang bagus dan posisi strategis di perusahaan. "Ia
betul-betul dipakai untuk memberikan pendapatan besar bagi perusahaannya,"
tambahnya. Apabila ada proyek audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan
sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus
dibanding auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar
menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun
makin meningkat pula.

Namun, menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang yang
bersertifikasi standar global akan berhasil di karier dan gaji. Hanya,
memang, dengan memiliki sertifikasi, daya tahan untuk tetap memiliki
posisi dan penghasilan tinggi cenderung lebih kuat. "Jika tak punya
sertifikasi, bisa saja ia diganti oleh orang yang bersertifikasi,"
tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk
dengan orang asing. Jadi, jika tak memiliki kredibilitas, lewat
sertifikasi, pasti akan kalah bersaing. "Bank-bank besar, asuransi, dan
pasar modal makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya.

Ferry Wong berpendapat, sertifikasi memang menunjang karier dan gaji,
tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA dan FRM pasti akan
menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar atau tools untuk
menjadi analis yang baik," paparnya. Selebihnya tergantung kemauan,
usaha, dan keberuntungan. Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang
menyandang gelar CFA dan FRM memang memiliki posisi tinggi. "Oleh karena
jumlahnya sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan Ario. Katanya, penyandang gelar CPM Asia
Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi gelar ini
dihargai di negara-negara Asia Pasifik, sehingga penyandangnya, apabila
bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa standar profesionalnya
setara. "Sementara di Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti
makna titel CPM," paparnya. Ario mensinyalir, orang masih rancu antara
gelar formal dan informal, serta adanya stigma bahwa apabila gelar
informal tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak
legal. "Padahal di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal profesi
yang kalau diterima pasar ya bisa berjalan," jelas Ario. Namun Ario
yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal lebih berdaya saing dibanding
yang tidak memilikinya.

Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service director Century 21
Thomas Mitra, menjelaskan bahwa sebagian broker properti memang belum
memiliki sertifikasi broker atau analis properti. Namun ia mengamati,
mereka yang memilikinya cenderung makin baik karier dan penghasilannya.
Thomas, yang memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat
Studi Properti Indonesia, merasakan manfaat pendidikan yang ditempuhnya
dalam menjalankan profesi sebagai broker properti.

Ke depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker properti makin
dibutuhkan karena persaingan makin sengit dan tuntutan konsumen makin
tinggi. "Itu baru bisa kami layani kalau kaminya sendiri makin
berkualitas," ujarnya. Thomas menambahkan, karier sulit berkembang kalau
mau mengejar uang tanpa terus belajar.

Sumber:
wartaekonomi.com